RENUNGAN HARIAN​

Renungan Harian Jemaat – Full Miracle Service, 8 April 2024

Renungan Harian Jemaat – Full Miracle Service

🍃 Selamat Pagi 🍃

Di hari yang indah ini, 8 April 2024, kita diingatkan tentang sebuah kebajikan yang seringkali terlupakan dalam kesibukan dan kecepatan kehidupan modern: kesabaran. Dalam Galatia 6:9, kita mendapat pengingat yang kuat dan penuh harapan:

“Janganlah kita menjadi lelah dalam berbuat baik, karena pada waktunya kita akan menuai, jika kita tidak menyerah.” – Galatia 6:9

Refleksi:

Dalam ayat ini, Paulus menyerukan kepada kita untuk mempertahankan kesabaran dan ketekunan, terutama dalam berbuat baik. Dalam dunia yang sering kali menuntut hasil instan, nilai kesabaran menjadi semakin penting. Kesabaran bukan hanya tentang menunggu, tetapi juga tentang bagaimana kita menunggu – dengan hati yang tenang, penuh iman, dan tidak kehilangan semangat dalam melayani dan melakukan kebaikan.

Hari ini, mari kita renungkan bagaimana kita dapat mengaplikasikan kesabaran dalam berbagai aspek kehidupan kita:

  • Dalam Menunggu Waktu Tuhan: Bagaimana kita dapat mempercayai rencana dan waktu Tuhan, meskipun tidak sesuai dengan harapan atau jadwal kita?
  • Dalam Melayani Sesama: Bagaimana kita dapat terus melayani dengan hati yang sabar, meskipun mungkin tidak melihat hasilnya secara langsung?
  • Dalam Menghadapi Cobaan: Bagaimana kita dapat mempertahankan iman dan ketekunan kita, bahkan ketika dihadapkan pada tantangan dan kesulitan?

Doa Hari Ini:

Tuhan Yang Maha Sabar, kami mengucap syukur atas kasih dan kesabaran-Mu yang tak terbatas kepada kami. Kami memohon kekuatan dan kesabaran dari-Mu, agar kami juga dapat berbuat baik tanpa lelah. Bantulah kami untuk memahami dan menerima waktu-Mu, untuk tidak menyerah dalam melayani, dan untuk tetap teguh dalam menghadapi setiap cobaan. Ingatkan kami akan janji indah-Mu kepada mereka yang bertahan. Kami berdoa ini dalam nama Yesus, sumber kekuatan kami. Amin.


Semoga renungan ini menjadi penguat iman Anda hari ini, mengingatkan kita semua tentang pentingnya kesabaran dalam setiap langkah kehidupan kita. Ingatlah, janji Tuhan menanti mereka yang tidak menyerah. Tuhan memberkati kita dengan kekuatan untuk terus berbuat baik. 🕊️


Dengan hati yang sabar dan penuh harapan, mari kita lanjutkan perjalanan kita, mengetahui bahwa dalam waktu-Nya, kita akan menuai apa yang telah kita tanam dengan cinta dan kesetiaan.

Mengasihi Musuh Kita

Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. —Matius 5:44

Meski Perang Saudara Amerika Serikat telah menimbulkan banyak kepahitan, Presiden Abraham Lincoln merasa perlu mengucapkan kata-kata yang baik tentang pihak Konfederasi Selatan yang kalah perang. Seseorang yang terkejut mendengarnya lalu bertanya bagaimana mungkin beliau melakukan hal itu. Lincoln menjawab, “Nyonya, tidakkah aku telah menghancurkan permusuhan ketika aku menjadikan mereka sahabatku?” Saat merenungkan kata-kata tersebut seabad kemudian, Martin Luther King Jr. berkata, “Itulah kekuatan kasih yang membawa penebusan.”

King merenungkan pengajaran Yesus yang memanggil murid-murid-Nya untuk mengasihi musuh-musuh mereka. Ia menekankan bahwa mungkin sulit bagi orang percaya untuk mengasihi para penganiaya mereka, tetapi kasih seperti itu akan bertumbuh lewat “penyerahan diri yang utuh dan terus-menerus kepada Allah.” “Saat kita mengasihi seperti ini,” lanjut King, “kita akan mengenal Allah dan mengalami keindahan kekudusan-Nya.”

King merujuk pada Khotbah di Bukit ketika Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga” (Mat. 5:44-45). Nasihat Yesus berlawanan dengan prinsip umum yang memerintahkan orang untuk mengasihi sesama tetapi membenci musuh-musuh mereka. Sebaliknya, Allah Bapa memberi kuasa kepada anak-anak-Nya untuk mengasihi orang-orang yang menentang mereka.

Meski rasanya mustahil kita dapat mengasihi musuh, saat kita berharap kepada pertolongan Allah, Dia akan menjawab doa-doa kita. Dia akan memberi kita keberanian untuk melakukan tindakan yang radikal ini, karena Yesus telah berfirman, “bagi Allah segala sesuatu mungkin” (19:26). —Amy Boucher Pye

Siapa yang kamu anggap sebagai musuh kamu? Jika kamu merasa sulit untuk mengasihi mereka yang menentang kamu, maukah kamu membawa pergumulan itu kepada Allah?

Allah Mahakasih, Engkau telah menjadikan diriku, dan juga mereka yang menyakitiku, menurut gambar dan rupa-Mu. Tolonglah aku untuk melihat mereka dengan mata-Mu.

Fokus yang Benar

Bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga. —Lukas 10:20

Sudah satu tahun lebih kami mengenal Kha. Ia anggota kelompok kecil kami di gereja, dan kami bertemu setiap minggu untuk mendiskusikan hal-hal yang sudah kami pelajari tentang Allah. Dalam salah satu pertemuan mingguan kami, sekilas ia menyebutkan pengalamannya berkompetisi di Olimpiade. Cara berceritanya sangat santai sehingga saya nyaris melewatkannya. Nyaris. Ternyata, saya baru sadar bahwa saya mengenal seorang atlet yang hampir medali perunggu Olimpiade! Saya tidak mengerti mengapa ia tidak pernah menyebutkan hal itu sebelumnya. Meski prestasi olahraga itu adalah sesuatu yang istimewa dalam perjalanan hidup Kha, baginya ada hal-hal lebih penting lainnya yang menjadi pusat identitasnya: keluarganya, komunitasnya, dan imannya.

Kisah dalam Lukas 10:1-23 menggambarkan apa yang seharusnya menjadi pusat dari identitas kita. Ketika tujuh puluh orang yang diutus Yesus untuk mengabarkan tentang Kerajaan Allah kembali dari perjalanan, mereka melaporkan bahwa “roh-roh jahat pun taat kepada kami apabila kami memerintahkan mereka atas nama Tuhan!” (ay.17 bis). Meski Yesus menegaskan bahwa memang Dia telah memperlengkapi mereka dengan kuasa dan perlindungan yang luar biasa, Dia berkata bahwa fokus mereka diarahkan pada hal yang salah. Dia menekankan bahwa mereka seharusnya bersukacita karena “nama [mereka] ada terdaftar di sorga” (ay.20).

Apa pun prestasi atau kemampuan yang telah dikaruniakan Allah kepada kita, jika kita telah mempercayakan diri kita kepada Yesus, maka alasan utama kita bersukacita adalah kenyataan bahwa nama kita terdaftar di surga, dan kita dapat menikmati penyertaan-Nya setiap hari dalam hidup kita. —Kirsten Holmberg

Apa yang selama ini menjadi fokus kamu? Bagaimana kamu dapat menggeser fokus itu agar lebih terarah kepada hal-hal yang kekal?

Bapa Surgawi, terima kasih, Engkau telah menuliskan namaku di surga. Aku bersukacita telah mengenal-Mu.

Dikuatkan oleh Rasa Syukur

Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! —Mazmur 103:2

Setelah didiagnosis mengidap tumor otak, Christina Costa mengamati bahwa sebagian besar pembicaraan seputar penanganan kanker didominasi oleh gaya bahasa pertarungan. Ia merasakan bagaimana metafora itu membuat energinya terkuras. Ia “tidak ingin menghabiskan waktu lebih dari satu tahun dengan bertempur melawan tubuh[nya] sendiri.” Sebaliknya, Christina justru merasa sangat terbantu ketika ia memilih untuk mengucap syukur setiap hari—untuk tim medis yang merawatnya secara profesional serta untuk pemulihan yang perlahan-lahan ditunjukkan oleh otak dan tubuhnya. Ia mengalami sendiri bahwa sesulit apa pun pergumulannya, tindakan bersyukur dapat menolong kita melawan perasaan depresi dan “menguatkan otak kita untuk membantu kita membangun ketahanan.”

Kisah Christina yang sangat menyentuh ini mengingatkan saya bahwa tindakan mengucap syukur bukanlah sekadar kewajiban bagi orang percaya. Meski benar bahwa Allah layak menerima rasa syukur kita, sikap tersebut juga membawa kebaikan bagi diri kita. Ketika kita mengangkat hati dan berkata, “Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!” (Mzm. 103:2), kita diingatkan pada begitu banyaknya karya Allah—menjamin pengampunan kita, menyembuhkan tubuh dan hati kita, mengizinkan kita mengalami “kasih setia dan rahmat” serta “kebaikan” yang tak terhitung banyaknya dalam hidup kita (ay.3-5).

Meski tidak semua penderitaan akan mengalami kesembuhan total dalam masa hidup kita, hati kita dapat selalu diperbarui dengan rasa syukur, sebab kasih Allah menyertai kita “dari selama-lamanya sampai selama-lamanya” (ay.17). —Monica La Rose

Bagaimana rasa syukur telah mendatangkan kesembuhan dalam hidup kamu? Apa yang kamu syukuri hari ini?

Ya Allah, terima kasih, karena Engkau selalu memberiku alasan untuk bersyukur dan berharap.

Direndahkan

Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian. —Amsal 29:23

Keangkuhan mendahului dan sering kali berakhir dengan kehinaan. Seorang pria di Norwegia mengalaminya. Tanpa mengenakan pakaian lari, pria ini dengan sombong menantang adu lari dengan Karsten Warholm, pemegang rekor dunia lari gawang 400 meter. Warholm, yang sedang berlatih di dalam ruangan sebuah fasilitas umum, menerima tantangan pria itu, dan dengan mudah mengalahkannya. Setelah melewati garis finis, juara dunia dua kali itu hanya tersenyum mendengar si pria congkak bersikeras bahwa ia salah langkah di awal lomba dan ingin mengulangnya!

Di Amsal 29:23, kita membaca, “Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian.” Cara Allah berurusan dengan orang yang congkak adalah salah satu tema kesukaan Salomo dalam Kitab Amsal (11:2; 16:18; 18:12). Kata keangkuhan, kecongkakan, atau tinggi hati dalam ayat-ayat ini berarti “membusungkan dada” atau “membesar-besarkan diri”—merasa berjasa atas apa yang sesungguhnya adalah jasa Allah. Ketika dipenuhi kesombongan, kita menganggap diri kita lebih tinggi daripada yang seharusnya. Yesus pernah berkata, “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:12). Baik Yesus maupun Salomo mendorong kita untuk sungguh-sungguh mengejar kerendahan hati. Ini bukanlah kerendahan hati yang pura-pura, melainkan kesadaran untuk mengukur diri dengan tepat dan mengakui bahwa segala sesuatu yang kita miliki berasal dari Allah. Kita memilih untuk bersikap bijak dan tidak “berbicara tanpa berpikir dahulu” (Ams. 29:20, BIS).

Marilah meminta Allah agar memberi kita hati dan hikmat untuk merendahkan diri, agar Allah dimuliakan dan kita pun tidak dipermalukan. —Marvin Williams

Pernahkah kamu menerima kehormatan setelah kamu memilih bersikap rendah hati? Bagaimana kamu dapat merendahkan diri di hadapan Allah?

Ya Allah, ingatkanlah aku bahwa kerendahan hati adalah jalan menuju kehormatan di mata-Mu.

Telah Kusaksikan Kesetiaan Allah

Aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu, ya Tuhan, di antara bangsa-bangsa, dan aku mau menyanyikan mazmur bagi nama-Mu. —2 Samuel 22:50

Di sepanjang tujuh puluh tahun masa pemerintahannya yang bersejarah sebagai penguasa Britania Raya, Ratu Elizabeth II hanya satu kali memberikan kata pengantar pribadi sebagai tanda persetujuan atas biografi tentang kehidupannya. Buku The Servant Queen and the King She Serves (Ratu yang Melayani dan Raja yang Dilayaninya) yang dirilis dalam rangka perayaan ulang tahun Ratu yang kesembilan puluh itu mengisahkan bagaimana iman sang Ratu telah menuntunnya di sepanjang pengabdiannya kepada negara. Dalam kata pengantar itu, Ratu Elizabeth menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua orang yang telah mendoakannya, dan ia mengucap syukur kepada Allah atas kasih setia-Nya. Ia menutup dengan mengatakan, “Saya sungguh telah menyaksikan kesetiaan-Nya.”

Pernyataan Ratu Elizabeth yang sederhana tersebut menggemakan kesaksian dari banyak pria dan wanita di sepanjang sejarah yang telah mengalami pemeliharaan Allah yang setia dalam kehidupan mereka masing-masing. Tema itulah yang mendasari kidung indah yang ditulis Daud saat ia melakukan kilas balik atas kehidupannya. Kidung yang dicatat dalam 2 Samuel 22 itu berbicara tentang kesetiaan Allah dalam melindungi, memelihara, bahkan menyelamatkan Daud dari bahaya (ay.3-4,44). Menanggapi pengalamannya akan kesetiaan Allah, Daud menulis, “Aku mau menyanyikan mazmur bagi nama-Mu” (ay.50).

Meski memang indah jika kita dapat mengingat kembali kesetiaan Allah di usia senja, kita tidak perlu menunda untuk menceritakan kebaikan-Nya dalam hidup kita. Saat ini juga, ketika kita menyadari bahwa bukan kemampuan kita sendiri yang telah menopang kita di sepanjang kehidupan, melainkan pemeliharaan yang setia dari Bapa yang penuh kasih, kita pasti tergerak untuk mengucap syukur dan menaikkan pujian kepada-Nya. —Lisa M. Samra

Bagaimana kamu telah menyaksikan kesetiaan Allah? Bagaimana kamu akan mengungkapkan rasa syukur kamu kepada-Nya?

Bapa Surgawi, aku bersyukur bahwa di setiap musim kehidupan ini, dalam suka maupun duka, kesetiaan-Mu sungguh nyata kusaksikan.

© 2025 GBI Miracle Service Church | All Right Reserved